"Monggo Menulis"
Entah
apa pasal, akhir - akhir ini awak gak nulis - nulis, alasan nya selalu
ada. Yang paling enak ya itu tadi, yang repotlah, yang gak pas waktu
nya lah, atau karena gak menulis pun gak apa apa. Apa pun alasan nya
yang pasti, gak ada tulisan sama sekali.
Kalau
dipikir, yang paling mudah adalah menjawab pertanyaan – pertanyaan,
mengapa tidak menulis – menulis. Dan jangan heran bila jawaban nya akan
cepat dan terasa pas. “Apa karena selama ini, di
alam pikir kita sudah terekam bahwa menulis itu susah”, sehingga kalau
mau menulis, seolah - olah ada tembok yang berdiri di hadapan kita
bagai penghalang. Hingga menjadikan tidak nyambung antara pikir, rasa
dengan sensor otak penggerak keterampilan menulis. Yang
lebih parah lagi bila kita sendiri secara tidak sadar sudah memperkecil
bahkan berkecenderungan mematikan / membunuh kemampuan terampil menulis
ini.
Penyebabnya tidak
lain dan tidak bukan, salah satunya adalah serapan informasi masuk,
yang menyatakan bahwa menulis itu tidak mudah, lebih bayak
dibandingkan dengan informasi yang menyatakan bahwa menulis itu mudah.
Dalam
bayangan saya bagi sebagian yang berpendapat “bahwa menulis itu
susah,” salah satu penyebabnya adalah bahwa ia sendiri selalu berpikir
bahwa menulis itu susah, sehingga secara tidak sadar di alam bawah sadar
nya terbentuk stigma ; “bahwa menulis itu susah” . Stigma itu berdiri
kokoh seolah tembok penghalang yang tidak teruntuhkan.
Kalau sudah begitu tentu saja sensor keterampilan menulis menjadi otomatis terhalangi.
Dan
ternyata diri kita sendiri yang sudah secara perlahan melemahkan bahkan
membunuh karakter keterampilan menulis diri sendiri.
“”Kalau sudah demikian, bagaimana sebaiknya ? “” Jawaban terindah, “ Ya menulis “ .
Hilangkan
rasa dan atau pikiran bahwa menulis itu susah, ganti dengan stigma
baru : .. bahwa menulis itu mudah “ . Karena yang membuat menulis itu
tidak mudah adalah diri sendiri, obatnya ya dari diri sendiri. Bila
tembok penghalang itu sudah runtuh, hingga asumsi yang dimiliki adalah
rasa optimis bahwa menulis itu mudah, lalu babak baru dimulai. Menulis.
“ Lha iya ..... yang mau saya tulis itu apa ?”
Cara
sederhana dan termudah adalah, dengan meng endapkan apa yang hendak
diucapkan / apa pun itu. Susun secara perlahan, rapi dan jangan dikeluarkan dari indera ucap.
Tetapi ubah dan tuangkan ke dalam lembar - lembar kosong itu, hingga terbentuk sebuah tulisan.
Tetapi ubah dan tuangkan ke dalam lembar - lembar kosong itu, hingga terbentuk sebuah tulisan.
Rasakan proses ini dengan hati terdalam, hingga muncul kalimat ini : “”” Weeeeh...... menulis yang selama ini layaknya hantu yang menakutkan, ternyata mampu awak buat juga”””. Ahamdulillah.
Teruskan menulis nya,
tumpahkan semua uneg - uneg dari alam pikir itu. Puaskan dan tuangkan
sebanyak banyak nya. Kikis tembok penghalang itu. Jadikan pelecut
pergulatan kekuatan meruntuhkan tembok penghalang itu sebagai modal
penyemangat, bahwa ternyata menulis itu mengasyik kan .
Jadi, hanya begitu rupanya.
Jadi, hanya begitu rupanya.
“”Ya iya.....mau apa lagi, namanya menulis, ya menulis, bukan mau menulis, bukan akan menulis dan bukan ingin menulis.
Benar
kata orang, bahwa menulis itu aplikasi kesabaran. Sabar mengelola diri
sendiri, sabar menghadapi tanggapan, bahkan sabar untuk terus menulis.
Dan jangan lupa ; selalu mencari pemicu untuk menulis. Bila sudah dapat pemicu menulis, lalu tulis saja. Karena menulis adalah latihan menulis itu sendiri. Diperlukan kesabaran dalam latihan.
Dan jangan lupa ; selalu mencari pemicu untuk menulis. Bila sudah dapat pemicu menulis, lalu tulis saja. Karena menulis adalah latihan menulis itu sendiri. Diperlukan kesabaran dalam latihan.
Konon,
dalam prespektif antropologi, bahwa penggunaan bahasa tulis berbanding
lurus dengan tingkat peradaban masyarakat.
Artinya semakin intensif masyarakat mengungkapkan gagasan secara tertulis, tidak hanya melalui bahasa ucap, semakin tinggi pula tingkat peradaban nya. Wallahu a’lam.
Artinya semakin intensif masyarakat mengungkapkan gagasan secara tertulis, tidak hanya melalui bahasa ucap, semakin tinggi pula tingkat peradaban nya. Wallahu a’lam.
Tambahan dari anak saya, yang tukang nulis, supaya bisa menulis itu setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi : (1) tenang (2) tahu apa yang mau ditulis.
Kalau sudah begitu, lalu ? . Monggo silahkan menulis. Bagaimana menurut sampeyan ?
Salam, Harduk,-
Salatiga, 18 Juli 2017