Senin, 20 Juli 2020

*Medsos dan kita*


Era medsos bisa juga sebagai era ujian bagi siapa pun. Mengapa begitu? . Baru baru ini tersiar kabar bahwa seseorang telah membocorkan data pribadi orang lain sehingga ada akibat yang tidak menyenangkan baik secara pribadi maupun rentetan nya yang ber akibat kepada tuntutan untuk korporasi. 

Bahkan kabar terbaru sang pribadi yang dibocorkan data pribadi nya ini, diancam akan dihabisi dengan cara ..bla bla bla....juga di media sosial, walau kabarnya ancaman itu sudah dihapus, toch screnshoot tulisan yang bersangkutan juga beredar di media sosial.  Hingga alamat pengancam pun, tertera jelas di medsos, bahwa ia berprofesi sebagai penjual .... di toko .... di kota ..... 

Sebelum ini, awak juga mendapat berita di group, bahwa bagi siapa pun yang tidak memakai masker,  akan dihukum denda sekian rupiah dan..... bla bla bla. Lalu sempat awak tanya, benarkah berita itu?  Kalau benar,  bisakah disajikan nomor surat edarannya. Jangan jangan berita itu hanya perbuatan orang yang kurang kerjaan saja. 

Lain pula artis yang berkomentar tentang foto korban covid ( oleh seorang fotographer),  dan setelah dijelaskan ...lalu minta maaf. Tetapi tentu saja walau kecil, tetap memiliki dampak. 

Di medsos lain nya beredar dua gambar ( dua dua nya dalam posisi duduk) yang satu berkacak yang satu ngapu rancang.  ( tangan dilipat di antara dua paha ) 

Dengan ulasan gambar,  *Dengan bahasa tubuh nilai etika dan estetika dan tata krama Jawa, mana yang lebih santun, njawani dan mana yang terkesan jumowo*

Tak terbantahkan tentu saja gambar itu akan menimbulkan komentar yang bermacam - macam bergantung kepada sisi mana seseorang melihatnya. Dan tidak ketinggalan tentu saja polemik nya. 

Terakhir juga beredar di medsos. Yang seorang ekonom mengomentari thermo gun,  itu laser dipergunakan untuk mengukur suhu besi panas. Saat melihat dan baca itu awak membatin, alangkah eloknya bila komentarnya tentang bidang yang sesuai dengan keahlian nya.

Untung gak berapa lama dimuat berita di salah satu berita OL,  bahwa thermo gun sudah sesuai dengan standard kesehatan. Weleh weleeeeeh. 

Dan jangan salah, dengan kita memuat tulisan apa pun itu, dapat dipastikan yang untung, bukan kita, *kita buntung.* 

Itulah medsos dan kita, silahkan petik yang bermanfaat. Tetap semangat dan tetap sehat wal afiat. 

*Pertanyaan nya  benarkah kita sudah terbuai,....dijajah....lewat medsos ?.* 
Wallahu a'lam. 

Salam. 
HYN

Rabu, 22 April 2020



*MBok Yah.*

Mruput ( pagi pagi buta ) mbok Yah sudah berangkat dari kampung nya, dengan jalan kaki...tertatih tatih, sambil gendong tenggok ( kranjang ayaman bambu ) penuh dengan ayam dan masih nyangking ( membawa dengan tangan ) tas plastik juga berisi ayam. 
Selangkah demi selangkah, sambil beliau melantunkan dengan lirih bait demi bait,  pitutur kehidupan, nan menyentuh.

*Ono kidung rumekso ing wengi,  Teguh hayu luput ing lelara. 
Luput ing bilahi kabeh, Jin setan datan purun. Paneluhan tan ana wani, 
Miwah panggawe ala. Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami. 
Tuju guna pan sirno*
(Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna - guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)

Kidung ini biasa dinyanyikan pada malam hari. Sebagaimana maknanya, Kidung Rumekso Ing Wengi bertujuan menyingkirkan diri dari balak atau gangguan, baik yang nampak maupun tidak.  Kidung ini juga mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Alloh. Sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa beriman dan bertaqwa padaNYA. 
*Luar biasah mbok Yah* yang sudah berumur ini, ternyata masih lekat dalam ingatan nya,  melantunkan kidung pitutur yang dalam.  Tertatih - tatih beliau berjalan dengan beban di punggung dan tas anyaman plastik tangan nya yang berisi ayam,  untuk tetap menjalani kehidupan yang dianugerahkan padanya. 
Sungguh semangat yang patut diteladani, dalam gegap gempitanya kehidupan, beliau menjalani kehidupan dengan semeleh pada yang Maha Kuasa. 
*Walau harus berdagang di perko ( emper toko), mbok Yah menjajakan ayam - ayam itu sembari mengharap barokahNYA dan tetap disiplin bermasker.* Semangat mbok Yah nggih.

Salam, -
Haryono

Senin, 13 April 2020

MALU MENULIS


Teringat kata seseorang dalam bincang - bincang, bahwa salah satu trik kreativitas menulis … adalah … sering membuat pertanyaan, dan menjawabnya … dengan catatan  …. jangan pandai bertanya tetapi tidak pandai menjawab. Yang begini tidak ada rumusnya. Tetapi tanyakan dalam hati dan jawabnya juga dalam hati, kemudian pertanyaan dan jawaban itu, harus ditulis. Tentu saja, bila dipertanyakan dan di jawab hanya dalam hati saja, namanya bukan menulis.
 Suatu saat sebenarnya dengan cara dan upaya, kepengin sekali menulis, tetapi rasanya ada yang mengganjal. Bahkan baru pada tahap angen – angen ( membayangkan ) akan sutu topik menulis…… eeee…. sudah ada yang menulis tentang hal sama, persis seperti yang ada dalam pikiran. Tentu saja gelo ( menyesal ) dalam hati, kenapa gak saya yang nulis ?.
Lalu dalam batin terdalam timbul pertanyaan ….. lho bapak ini kok nulisnya sama  persis seperti yang kupikirkan, apa cara berpikir beliau sama sepertiku.
Kok beliau bisa menuliskan, sementara aku yang juga memikirkan topik itu, dan berkeinginan untuk menulis, tapi kok hanya sebatas pada pikiran, dan tidak dapat menuangkan dalam bentuk tulisan. Atau apakah karena saya hanya sebatas terampil membaca saja ?, terkadang pertanyaan – pertanyaan ini terbersit dalam pikiran.
Pergulatan dalam batin terdalam bahwa dengan alasan apa pun, tabu merendahkan diri sendiri dalam hal keteramplan menulis, minimal salah satu alasanya, bahwa bila dalam benak sudah terpatrikan tentang ketidak bisaan / ketidak terampilan menulis, maka yang akan terjadi tentu sebagaimana yang terekam dalam alam bawah sadar nya. Tidak bisa menulis beneran.
 Oleh itu dengan alasan apa pun dalam batin usahakan selalu ditanamkan, saya bisa menulis. Dengan harapan suatu saat, entah kapan, terealisasi keinginan itu. Minimal hal ini dapat sebagai picu semangat, sokur menjadi gairah dalam menjalani ritual menulisnya.
Agar pada akhirnya keinginan menulis menjadi kebiasaan dan kebisaan yang mengalir dengan sendirinya. Beda hal nya kalau keinginan untuk menulis itu dikesampingkan, bahkan sengaja atau tanpa sengaja diabaikan sendiri, misalnya dengan mempertanyakanya.
Ach mana bisa aku menulis,? Mana mampu aku menulis ? Mana mungkin awak terampil menulis?. Hingga kemudian yang terjadi adalah krenteg ( niat ) menulis , benih menulis itu, tidak terpupuk. Karena kita sendirilah yang membunuhnya. Akibatnya.......tidak perlu dituliskan di sini. 
 Celakanya, setelah mempertanyakan kebiasaan dan kebisaan sendiri, yang akan terjadi adalah seolah ada tembok penghalang, rasa malu menulis. Untuk itu, dibutuhkan pemicu semangat terhadap diri sendiri yang selalu dikobarkan : Saya bisa menulis, saya terampil menulis, dan seterusnya.
***
Selanjutnya bila pengin menulis … ya tulis saja, besarkan hati, beranikan diri bahwa diri ini memang bisa menulis. Tembok penghalang terampil menulis sudah rubuh karena kita tidak berpikir bahwa di depan kita berdiri tembok itu.
Karena menulis tidak pakai modal, menulis tidak menengadahkan tangan  kepada orang lain. Jadi tidak ada kamus malu menulis.
Gremengan ( gumaman ) batin awak sambil tersenyum, memberi  semangat pada diri sendiri, hapus urat malu menuliswong ora nyolong ora njupuk ( tidak mencuri dan tidak mengambil tanpa izin ), dan kobarkan semangat menulis.
Ternyata siapa pun, bisa menulis, dan tidak ada kamus malu menulis. Ibaratnya ; tembok penghalang malu menulis sudah tidak ada lagi, sudah runtuh, selanjutnya ….. monggo menulis dan lebih kreatif menulis.  
So ….. bagaimana menurut sampeyan ???

Salam,-
Haryono HS

Minggu, 12 April 2020

BERBAGI ( lanjutan 1 )


Waktu pun berlalu sangat cepatnya, dan berjalan sebagaimana yang dikehendakiNYA. Dan rutinitas kerja Hakim, tiap hari ya seputar kebersihan ruangan, nyepak - nyepak ke ubo rampe  ( menyedikan alat - alat ) mengajar, spidol, penghapus, hingga mengecek dan memasang LCD ia lakukan. Tentu saja teh dan air putih sudah tersedia di meja dosen, itu yang menjadi tanggung jawabnya utamanya.

Tak terasa tahun - tahun terberat baginya  ia lalui. Tibalah di hari bersejarah itu. Rona wajah - wajah ceria terlihat terpancar di semua orang yang hadir, bahkan tak ketinggalan tentu saja Hakim dengan ke dua orang tua yang mendampinginya.

Terlihat wajah Hakim yang mungkin orang akan sulit mengartikan nya. Senang dan gundah dapat dipastikan lebih dari yang lain. Karena kalau yang lain perjuangan nya tentu saja sangat berbeda dengan nya. Kuliah dengan lika – liku yang tidak seberapa terjal sebagaimana yang ia alami.
Gak terbayangkan se ujung kuku pun, bahwa ia akan mengenakan toga seperti ini, mengenakan toga sebagaimana yang ia saksikan di tiap tahun ngofis boy di kantor ini.
Tetapi kali ini ia berdiri sejajar dengan putra - putri terbaik pertiwi, ia duduk di deretan wisudawan - wisudawati, yang memiliki banyak kelebihan dibanding dirinya.

Allah Maha Adil, bayangkan kalau awak dulu gak kerja di sini, dan kalau awak juga gak jumpa dengan pak R Yanto, yang petinggi PT ini dan kalau beliau gak bertanya tentang sekolah saya, apa mungkin awak bisa nyandang ( memakai ) toga seperti ini. Karena dari ngendikan ( ucapan ) beliaulah menjadikan aku terpacu bersekolah hingga kuliah. 
Bisa sampeyan bayangkan terpikir pun tidak, wong Aliyah saja gak tamat, pergi ke kota merantau, … tiap kantor kudatangi, Ahamdulillah dapat rezeki ngofis boy di sini.

***
Bisa saja kalau bukan karena doa simbok ku, mungkin tidak se lancar ini. Sebagaimana saat awak pamit pertama kali merantau.
Mbok ( maaaak ) ...  Hakim pamit merantau  ke Jakarta boleh mbok.
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibir simbok. Sambil memandangku sangat tajam. Walau dekat, seolah simbok menerawang jauh entah apa yang dipikirkanya. Lalu gak tega aku menatap pasuryane ( raut muka ) simbok yang semburat entah sedih entah kaget. Segera kujatuhkan kepalaku di pangkuan beliau. Ku bersimpuh tunduk dipangkuan nya.
Tak sepatah kata pun simbok ku mengucapkan kata – kata, beliau hanya mengelus - elus kepala ku sebagaimana kebiasan beliau semasa kecil, sembari ditiup umbun umbun ku, dengan sayup sayup beliau ucapkan doa nya.
Duch rasane gelo ati iki ( rasanya menyesal hati ini ) kenapa aku tega hati, pamit ke simbok pergi merantau. Karena disela - sela simbok ku meniupkan napas doa di umbun umbunku buliran air hangat setetes demi setetes mengalir menyusuri sela - sela rambutku. 
Ya Allah, Ya Rabb…… batin terdalamku merintih, gelombang detakan rasa sedih di dada berdegub kencang, berdesir perih. Bukan karena simbok mungkin tidak mengizinkan, namun telah membuat simbok ku meneteskan air mata, itu sesal tiada tara. Ampuni hamba ya Alloh, apa yang sudah kuperbuat…., hingga sampai mutiara simbok ku jatuh dari untaian nya, ampuni hamba ya Alloh. Dengan dremimil ( mengucap ) namun gak terucap, hanya dalam batin, dan hanya samapi kepada bibir atas bawah saling terkatup, karena gak berani mengucapkanya.
Sebenarnya awak ingin menangis berteriak sekeras,…. kerasnya, namun apa jadinya simbok ku, kalau kulakukan itu, dan yang keluar dari mulutku lirih, ku ucapkan kepada simbok sambil membik - membik lirih ( sesengguk an pelan ).
“Ya sudah mbok, kalau Hakim gak di izinkan pergi juga gak apa apa.” Ucapku keronto ronto ( nestapa ). ( bersambung )


Salam,-
Haryono