Waktu pun berlalu sangat cepatnya,
dan berjalan sebagaimana yang dikehendakiNYA. Dan rutinitas kerja Hakim, tiap
hari ya seputar kebersihan ruangan, nyepak
- nyepak ke ubo rampe ( menyedikan alat - alat ) mengajar, spidol, penghapus, hingga mengecek dan memasang LCD ia lakukan. Tentu saja
teh dan air putih sudah tersedia di meja dosen, itu yang menjadi tanggung
jawabnya utamanya.
Tak terasa tahun - tahun terberat
baginya ia lalui. Tibalah di hari
bersejarah itu. Rona wajah - wajah ceria terlihat terpancar di semua orang yang
hadir, bahkan tak ketinggalan tentu saja Hakim dengan ke dua orang tua yang
mendampinginya.
Terlihat wajah Hakim yang mungkin
orang akan sulit mengartikan nya. Senang dan gundah dapat dipastikan lebih dari
yang lain. Karena kalau yang lain perjuangan nya tentu saja sangat berbeda
dengan nya. Kuliah dengan lika – liku yang tidak seberapa terjal sebagaimana
yang ia alami.
Gak
terbayangkan se ujung kuku pun,
bahwa ia akan mengenakan toga seperti ini, mengenakan toga sebagaimana yang ia
saksikan di tiap tahun ngofis boy di
kantor ini.
Tetapi kali ini ia berdiri sejajar
dengan putra - putri terbaik pertiwi, ia duduk di deretan wisudawan -
wisudawati, yang memiliki banyak kelebihan dibanding dirinya.
Allah Maha Adil, bayangkan kalau
awak dulu gak kerja di sini, dan kalau awak juga gak jumpa dengan pak R Yanto,
yang petinggi PT ini dan kalau beliau gak bertanya tentang sekolah saya, apa
mungkin awak bisa nyandang ( memakai )
toga seperti ini. Karena dari ngendikan (
ucapan ) beliaulah menjadikan aku terpacu bersekolah hingga kuliah.
Bisa sampeyan bayangkan terpikir pun
tidak, wong Aliyah saja gak tamat, pergi ke kota merantau, … tiap kantor
kudatangi, Ahamdulillah dapat rezeki ngofis boy di sini.
***
Bisa saja kalau bukan karena doa
simbok ku, mungkin tidak se lancar ini. Sebagaimana saat awak pamit pertama
kali merantau.
Mbok ( maaaak ) ... Hakim
pamit merantau ke Jakarta boleh mbok.
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibir
simbok. Sambil memandangku sangat tajam. Walau dekat, seolah simbok menerawang
jauh entah apa yang dipikirkanya. Lalu gak tega aku menatap pasuryane
( raut muka ) simbok yang semburat entah sedih entah kaget. Segera
kujatuhkan kepalaku di pangkuan beliau. Ku bersimpuh tunduk dipangkuan nya.
Tak sepatah kata pun simbok ku
mengucapkan kata – kata, beliau hanya mengelus - elus kepala ku sebagaimana
kebiasan beliau semasa kecil, sembari ditiup umbun umbun ku, dengan sayup sayup
beliau ucapkan doa nya.
Duch rasane gelo ati iki ( rasanya menyesal hati ini ) kenapa aku tega
hati, pamit ke simbok pergi merantau. Karena disela - sela simbok ku meniupkan
napas doa di umbun umbunku buliran air hangat setetes demi setetes mengalir
menyusuri sela - sela rambutku.
Ya Allah, Ya Rabb…… batin terdalamku
merintih, gelombang detakan rasa sedih di dada berdegub kencang, berdesir perih.
Bukan karena simbok mungkin tidak mengizinkan, namun telah membuat simbok ku
meneteskan air mata, itu sesal tiada tara. Ampuni hamba ya Alloh, apa yang sudah
kuperbuat…., hingga sampai mutiara simbok ku jatuh dari untaian nya, ampuni
hamba ya Alloh. Dengan dremimil ( mengucap ) namun gak
terucap, hanya dalam batin, dan hanya samapi kepada bibir atas bawah saling
terkatup, karena gak berani mengucapkanya.
Sebenarnya awak ingin menangis
berteriak sekeras,…. kerasnya, namun apa jadinya simbok ku, kalau kulakukan itu,
dan yang keluar dari mulutku lirih, ku ucapkan kepada simbok sambil membik
- membik lirih ( sesengguk an pelan ).
“Ya sudah mbok, kalau Hakim gak di
izinkan pergi juga gak apa apa.” Ucapku keronto ronto ( nestapa ). (
bersambung )
Salam,-
Haryono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar