Minggu, 12 April 2020

BERBAGI ( lanjutan 1 )


Waktu pun berlalu sangat cepatnya, dan berjalan sebagaimana yang dikehendakiNYA. Dan rutinitas kerja Hakim, tiap hari ya seputar kebersihan ruangan, nyepak - nyepak ke ubo rampe  ( menyedikan alat - alat ) mengajar, spidol, penghapus, hingga mengecek dan memasang LCD ia lakukan. Tentu saja teh dan air putih sudah tersedia di meja dosen, itu yang menjadi tanggung jawabnya utamanya.

Tak terasa tahun - tahun terberat baginya  ia lalui. Tibalah di hari bersejarah itu. Rona wajah - wajah ceria terlihat terpancar di semua orang yang hadir, bahkan tak ketinggalan tentu saja Hakim dengan ke dua orang tua yang mendampinginya.

Terlihat wajah Hakim yang mungkin orang akan sulit mengartikan nya. Senang dan gundah dapat dipastikan lebih dari yang lain. Karena kalau yang lain perjuangan nya tentu saja sangat berbeda dengan nya. Kuliah dengan lika – liku yang tidak seberapa terjal sebagaimana yang ia alami.
Gak terbayangkan se ujung kuku pun, bahwa ia akan mengenakan toga seperti ini, mengenakan toga sebagaimana yang ia saksikan di tiap tahun ngofis boy di kantor ini.
Tetapi kali ini ia berdiri sejajar dengan putra - putri terbaik pertiwi, ia duduk di deretan wisudawan - wisudawati, yang memiliki banyak kelebihan dibanding dirinya.

Allah Maha Adil, bayangkan kalau awak dulu gak kerja di sini, dan kalau awak juga gak jumpa dengan pak R Yanto, yang petinggi PT ini dan kalau beliau gak bertanya tentang sekolah saya, apa mungkin awak bisa nyandang ( memakai ) toga seperti ini. Karena dari ngendikan ( ucapan ) beliaulah menjadikan aku terpacu bersekolah hingga kuliah. 
Bisa sampeyan bayangkan terpikir pun tidak, wong Aliyah saja gak tamat, pergi ke kota merantau, … tiap kantor kudatangi, Ahamdulillah dapat rezeki ngofis boy di sini.

***
Bisa saja kalau bukan karena doa simbok ku, mungkin tidak se lancar ini. Sebagaimana saat awak pamit pertama kali merantau.
Mbok ( maaaak ) ...  Hakim pamit merantau  ke Jakarta boleh mbok.
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibir simbok. Sambil memandangku sangat tajam. Walau dekat, seolah simbok menerawang jauh entah apa yang dipikirkanya. Lalu gak tega aku menatap pasuryane ( raut muka ) simbok yang semburat entah sedih entah kaget. Segera kujatuhkan kepalaku di pangkuan beliau. Ku bersimpuh tunduk dipangkuan nya.
Tak sepatah kata pun simbok ku mengucapkan kata – kata, beliau hanya mengelus - elus kepala ku sebagaimana kebiasan beliau semasa kecil, sembari ditiup umbun umbun ku, dengan sayup sayup beliau ucapkan doa nya.
Duch rasane gelo ati iki ( rasanya menyesal hati ini ) kenapa aku tega hati, pamit ke simbok pergi merantau. Karena disela - sela simbok ku meniupkan napas doa di umbun umbunku buliran air hangat setetes demi setetes mengalir menyusuri sela - sela rambutku. 
Ya Allah, Ya Rabb…… batin terdalamku merintih, gelombang detakan rasa sedih di dada berdegub kencang, berdesir perih. Bukan karena simbok mungkin tidak mengizinkan, namun telah membuat simbok ku meneteskan air mata, itu sesal tiada tara. Ampuni hamba ya Alloh, apa yang sudah kuperbuat…., hingga sampai mutiara simbok ku jatuh dari untaian nya, ampuni hamba ya Alloh. Dengan dremimil ( mengucap ) namun gak terucap, hanya dalam batin, dan hanya samapi kepada bibir atas bawah saling terkatup, karena gak berani mengucapkanya.
Sebenarnya awak ingin menangis berteriak sekeras,…. kerasnya, namun apa jadinya simbok ku, kalau kulakukan itu, dan yang keluar dari mulutku lirih, ku ucapkan kepada simbok sambil membik - membik lirih ( sesengguk an pelan ).
“Ya sudah mbok, kalau Hakim gak di izinkan pergi juga gak apa apa.” Ucapku keronto ronto ( nestapa ). ( bersambung )


Salam,-
Haryono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar