Teringat
kata seseorang dalam bincang - bincang, bahwa salah satu trik kreativitas
menulis … adalah … sering membuat pertanyaan, dan menjawabnya … dengan
catatan …. jangan pandai bertanya tetapi
tidak pandai menjawab. Yang begini tidak ada rumusnya. Tetapi tanyakan
dalam hati dan jawabnya juga dalam hati, kemudian pertanyaan dan
jawaban itu, harus ditulis. Tentu
saja, bila dipertanyakan dan di jawab hanya dalam hati saja, namanya bukan menulis.
Suatu
saat sebenarnya dengan cara dan upaya, kepengin sekali menulis, tetapi rasanya ada
yang mengganjal. Bahkan baru pada tahap angen – angen ( membayangkan ) akan
sutu topik menulis…… eeee…. sudah ada
yang menulis tentang hal sama, persis seperti
yang ada dalam pikiran. Tentu saja gelo ( menyesal ) dalam hati,
kenapa gak saya yang nulis ?.
Lalu
dalam batin terdalam timbul pertanyaan ….. lho bapak ini kok nulisnya sama persis seperti yang kupikirkan, apa cara
berpikir beliau sama sepertiku.
Kok
beliau bisa menuliskan, sementara aku yang juga memikirkan topik itu, dan
berkeinginan untuk menulis, tapi kok hanya sebatas pada pikiran, dan tidak
dapat menuangkan dalam bentuk tulisan. Atau
apakah karena saya hanya sebatas terampil membaca saja ?, terkadang pertanyaan – pertanyaan ini terbersit dalam pikiran.
Pergulatan
dalam batin terdalam bahwa dengan alasan apa pun, tabu merendahkan diri sendiri dalam
hal keteramplan menulis, minimal salah satu alasanya, bahwa bila dalam benak sudah terpatrikan tentang
ketidak bisaan / ketidak terampilan menulis, maka yang akan terjadi tentu sebagaimana
yang terekam dalam alam bawah sadar nya. Tidak
bisa menulis beneran.
Oleh
itu dengan alasan apa pun dalam batin usahakan selalu ditanamkan, saya bisa
menulis. Dengan harapan suatu saat, entah kapan, terealisasi keinginan
itu. Minimal hal ini dapat sebagai picu
semangat, sokur menjadi gairah dalam menjalani ritual menulisnya.
Agar
pada akhirnya keinginan menulis menjadi kebiasaan dan kebisaan yang
mengalir dengan sendirinya. Beda hal nya kalau keinginan untuk menulis itu
dikesampingkan, bahkan sengaja atau tanpa sengaja diabaikan sendiri, misalnya dengan
mempertanyakanya.
Ach
mana bisa aku menulis,? Mana mampu aku menulis ? Mana mungkin awak terampil
menulis?. Hingga kemudian yang terjadi adalah krenteg ( niat ) menulis ,
benih menulis itu, tidak terpupuk. Karena kita sendirilah yang membunuhnya. Akibatnya.......tidak
perlu dituliskan di sini.
Celakanya, setelah mempertanyakan
kebiasaan dan kebisaan sendiri, yang akan terjadi adalah seolah ada tembok
penghalang, rasa malu menulis. Untuk itu, dibutuhkan pemicu semangat
terhadap diri sendiri yang selalu dikobarkan : Saya bisa menulis, saya terampil
menulis, dan seterusnya.
***
Selanjutnya
bila pengin menulis … ya tulis saja, besarkan hati, beranikan diri bahwa diri ini
memang bisa menulis. Tembok penghalang terampil menulis sudah rubuh
karena kita tidak berpikir bahwa di depan kita berdiri tembok itu.
Karena
menulis tidak pakai modal, menulis tidak menengadahkan tangan kepada orang lain. Jadi tidak ada kamus malu
menulis.
Gremengan
( gumaman ) batin awak sambil tersenyum, memberi semangat pada diri sendiri, hapus
urat malu menulis, wong ora nyolong ora njupuk ( tidak mencuri dan tidak mengambil tanpa
izin ), dan kobarkan semangat menulis.
Ternyata
siapa pun, bisa menulis, dan tidak ada kamus malu menulis. Ibaratnya ; tembok penghalang malu menulis sudah tidak ada lagi, sudah runtuh, selanjutnya ….. monggo menulis dan lebih kreatif menulis.
So ….. bagaimana menurut sampeyan ???
So ….. bagaimana menurut sampeyan ???
Salam,-
Haryono
HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar